MOTIVASI LUAR BIASA DAHSYAT

HARIANJA

HARIANJA

Raja Agen Majalah Ibukota


Tiga puluh tahun bergelut di bisnis media cetak menjadikan Tumpal Harianja pemimpin Kedarton Agency memiliki kemampuan menganalisa pasar media cetak yang sangat jitu. Dia dikenal sebagai seorang agen yang tidak banyak neko-neko, terpercaya dan senang memberi saran pada penerbit khususnya yang berhubungan dengan pasar. Penerbit yang sudah membuktikan kebenaran sarannya tidak lagi hanya memandangnya sebagai agen tapi juga sebagai Konsultan Media.

Kini dia telah banyak melahirkan agen-agen dan sub agen baru yang tersebar hampir di separuh ibukota. Berbagai penghargaan sebagai agen terbaik serta hadiah dan bonus diberikan penerbit atas segala prestasinya.

Pengalaman selama berkecimpung dalam bisnis ini telah membuatnya sangat jeli dan paham akan permintaan pasar. Dengan modal itu, dia sering memberikan saran kepada penerbit tentang topik apa yang sebaiknya diangkat bahkan apa atau siapa yang ditampilkan di cover. Begitu juga bagi penerbit baru yang meminta saran dan pendapatnya, akan diberikan dengan senang hati terutama mengenai problem yang dialami penerbit baru pada umumnya.

Semakin menarik bila mengetahui darimana dan sudah sejauhmana pria asal Pahae, Tapanuli Utara ini menggeluti bidang ini. Dalam wawancara dengan Tokoh Indonesia pada tanggal 7 September 2004 di salah satu kantornya di Stasiun KA Senen, dia mengatakan bahwa awal berjualan koran dilakoninya tidak lebih dari sebagaimana tukang koran perempatan jalan pada umumnya. Itu dimulai ketika masih Sekolah Tinggi Menengah Perkapalan, Tanjung Priok. Ketika itu dia berjualan koran di Lapangan Banteng pada pagi hari kemudian sekolah pada siang harinya.

Pekerjaan ini terus dilakoninya hingga selepas dari STM. Saat itu dia memilih meneruskan berjualan koran ketimbang melamar menjadi pelaut karena mengetahui adanya peristiwa terbakarnya kapal Pertamina ketika itu.

Pada masa-masa itulah dia mulai dipercaya oleh penerbit untuk menjual media mereka dengan sistem titip. Majalah Info Bank merupakan media pertama yang mempercainya ketika itu. Kerjasamanya dengan majalah yang mempunyai oplah lumayan bagus karena banyak kerjasama atau hubungannya dengan bank ini sampai sekarang masih berlanjut. Kini dia merupakan salah satu agen tertua majalah tersebut.

Tidak begitu lama setelah tamat STM, dia kemudian pulang kampung untuk menikah. Dia yang ketika itu masih berusia 20 tahun terkesan buru-buru menikah. Hal itu memang disengaja agar ada yang menjaga kesehatannya yang ketika itu sudah mulai bandel terbawa kehidupan pasaran. Ketika pulang kampung ini untuk sementara dia memberhentikan usahanya karena ketika itu memang dia masih belum agen resmi, masih bebas untuk tidak menerima barang dari penerbit.

Dari kampung, dia membopong Berlian Siregar, istrinya tercinta ke Jakarta untuk seterusnya melanjutkan bisnis jual koran. Semangat yang tadinya mulai jenuh kini kembali timbul lagi dengan dukungan sang istri. Maka usaha yang tadinya biasa-biasa saja sekarang langsung dibuatnya menjadi agen resmi dengan nama Harianja Agency sesuai dengan marganya.

Waktu itu dia masih tinggal di Tanjung Priok tapi lokasi agennya di Lapangan Banteng, karena itu dia dan istri harus pulang balik tiap hari. Nama Harianja Agency ini di kemudian hari telah menyebar dari Lapangan Banteng kemudian ke Senen, Kebayoran dan sekarang ke Cawang yang tetap membawa nama Harianja.

Namun begitu anaknya lahir pada tahun 1977, nama agencynya pun diganti dari Harianja Agency menjadi Kedarton Agency sesuai dengan nama anaknya, Kedarton. Kemudian agen ini semakin besar walaupun menurut Harianja semuanya hanya bermodal kepercayaan saja serta dukungan para karyawan yang semuanya masih saudara, seperti adik-adik dan lainnya.

Melihat keagenan sekarang ini, Kedarton Agency termasuk agen yang sudah tua di Ibukota ini. Walaupun memang telah banyak agen sebelumnya namun pada umumnya agen itu telah mati akibat tidak adanya regenerasi pengelolanya. Sementara keagenan yang mempunyai generasi itu memang sampai sekarang masih jalan seperti Agen Haji Sarka di Harmoni merupakan agen yang umurnya di atas umur Kedarton Agency.

Di antara sekian banyak agen besar di Ibukota ini, nama Timbul Harianja sebagai pemilik Kedarton Agency cukup menonjol dikenal orang khususnya para penerbit. Hal ini terjadi karena dia memang sering diundang oleh penerbit. Kadang-kadang jika seseorang mau membuat media, sering mereka datang dulu ke tempatnya untuk menanyakan sesuatu.

Kemudian dia pun memberikan saran-sarannya yang di kemudian hari memang banyak terbukti. Dari situlah maka penerbit itu kemudian lebih banyak mengenalnya karena kemampuannya memberi saran-saran masa depan media tersebut. “Umpamanya, banyak juga orang itu punya duit sekian, bayangan dia dikira seperti biro jasa langsung ada keuntungan, tau-tau membuat media itu kadang-kadang satu sampai tiga tahun baru kelihatan keuntungannya,” katanya mencontohkan salah satu saran yang diberikannya.

Begitu banyak kesan dan kisah menarik yang dialaminya sejak menekuni jualan koran tahun 1974 lampau atau sejak menekuni keagenan di tahun 1977 yang lalu. Namun dengan serius dia mengatakan kalau kesan yang paling menarik menurutnya adalah jika oplahnya tinggi. “Suatu kekuatan bagi diri saya misalnya kalau media yang saya ageni itu terjual, perasaan saya puas, itu saja,” katanya.

Di samping itu memang ada banyak hal menarik untuk dikenang dari usaha keagenan ini seperti hubungan baik dengan penerbit. Kedarton Agencynya memang selalu menjaga kepercayaan dari mitranya, dalam hal ini penerbit. Dia selalu berusaha berlaku adil untuk semua penerbit dan selalu berusaha untuk transparan.

“Jadi keagenan saya ini keterbukaan semua, saya nggak nutup-nutupin. Jadi keagenan saya ini selalu terbuka biarpun pada pihak penerbit, pembukuan saya begini, keuangan saya begini, anak buah saya begini dan lain-lainnya. Jadi tenggang rasa dari pihak-pihak penerbit di antaranya Femina Group itu selalu berusaha agar jalinan saya dengan mereka itu langgeng.

Walaupun dia bukan semacam agen tunggal di Femina Group sebab di Femina itu memang tidak ada istilah agen tunggal, namun dia merasakan bahwa Femina Group memperlakukannya berbeda dibanding penerbit lain, hal mana mungkin diberlakukan Femina juga kepada agennya yang lain.

Di Femina Group, agen lain juga ada. Hanya saja agen baru yang tidak bisa. Selagi sanggup yang lama ngapain membuat beban sama mereka serta bagaimana agar agen yang sudah lama terbina, supaya sama-sama maju, begitulah pemikiran Femina Group tersebut. Memang dengan memberikan kepada agen baru lagi berarti penerbit itu juga telah mengurangi pendapatan agennya.

Mengenai kerjasama dengan pihak penerbit, Harianja mengakui hanya karena kepercayaan saja. Memang kepercayaan itu pun menurutnya ada sistemnya juga seperti pembayarannya bagaimana, apa sistem dua-satu atau tiga-satu, artinya media di drop dua edisi, barulah ditagih satu atau drop tiga edisi, baru ditagih satu.

Jika agen dikelompokkan dari segi cara kerjanya, agen itu terbagi dua yakni agen pasar yang berjualan bebas dan agen pelanggan yang khusus mengisi pelanggan. Namun agen pelanggan tersebut ada juga yang sekaligus menjadi agen pasar dan sebaliknya agen pasar pun bisa sekaligus menjadi agen pelanggan. Seperti Kedarton Agency misalnya mempunyai pelanggan yang pelayanannya sudah diserahkan kepada sub-sub agennya.

Pelanggan semuanya diserahkannya kepada sub agen supaya mereka juga maju. Sehingga dipastikannya, bahwa di bisnisnya itu tidak ada istilah monopoli.

Sekian lama dia membuka keagenan ini, ada masa surut ada juga masa pasang, namun yang dia anggap jaman emas peragenan ini adalah tahun-tahun sebelum krisis atau tahun 1996 ke bawah. Selama ini pula sudah ratusan merk majalah dan tabloid yang dia tangani, apalagi sejak masa reformasi ini sudah akrab dijumpai kalau tumbuh sepuluh majalah atau tabloid akan ada lima yang mati.

Tapi begitu menjamurnya penerbitan berbanding terbalik dengan oplahnya atau penjualannya yang malah menurun. Ini mungkin disebabkan faktor daya beli masyarakat yang rendah. Jadi yang bertahan sampai sekarang menurutnya hanyalah seratusan lebih.

Walau begitu anjlok penjualan media cetak belakangan ini namun media yang baru masih juga bermunculan. Tapi selaku orang yang sudah begitu lama berusaha di bisnis ini, dia tidak mau milih-milih. “Bagaimanalah antara teman ‘kan? Jadi misalnya si A membuat satu tabloid, dia datang ke tempat saya, harus bantu Harianja katanya, kita berusaha juga bantu sebab kalau kita tidak bantu nanti kita dibilang sombong. Cuma kita kasih tahu pada yang membuat media ini bahwa yang menilai nanti adalah pasar, jangan sampai saya disalahkan, saya bilang begitu saja,” katanya.

Kalau para agen koran memiliki perkumpulan yang dikenal dengan Kelompok Sembilan, para agen yang hanya menangani majalah dan tabloid seperti Harianja ini belum mempunyai perkumpulan semacam itu. Mengenai kerjasama ini dia akui bahwa memang itulah yang kurang. Menurutnya, kalau kerjasama agen tersebut ada, mungkin kejadian menurunnya oplah penjualan yang hampir membuat mati banyak agen ini tidak akan terjadi.

Dalam penurunan oplah ini, banyak agen yang tidak sanggup menghadapi karena jika dulu misalnya oplah agen itu seribu tapi sekarang jadi lima ratus, akhirnya sudah kewalahan bayar yang seribu. Jadi menurutnya kalau agen itu kompak, dia merasa diskon dari penerbit itu bisa diperbesar sehingga nanti ada sisanya. Sebab kalau sekarang ini, agen seperti dia itu katanya hanya ambil 1%, jadi ke bawahnya yakni sub agen itu yang lebih banyak, apalagi pengecer itu bisa sampai mendapat 25%.

Walau ternyata kerjasama yang lebih riel di antara mereka itu tidak ada sama sekali, namun persahabatan di antara mereka terutama yang saling berdekatan kelihatan sangat mesra. Sering terjadi saling pinjam majalah misalnya.

Mengenai kekompakan agen tersebut, Harianja mengatakan bahwa hal itu terjadi karena mereka sudah merasa seperasaan. Jadi mengenai pinjam meminjam itu sudah hal lumrah dan sudah kebiasaan di antara mereka. Demikian juga antara agen dan sub agen sering juga terjadi barter. Jadi kalau agen A umpamanya mengageni beberapa produk, sub agennya juga bisa mengageni sesuatu produk lain yang tidak ada di agen besarnya, jadi di antara agen besar dan sub agen bisa saling barter.

Sedangkan penerbit sendiri tidak ada larangan dan hambatan untuk mengangkat agennya, mereka bisa mengangkat agennya siapa dan di mana saja sekalipun agen tersebut bersaudara dan saling berdekatan letaknya. Tapi penerbit itu biasanya jeli melihat siapa menjadi agennya sebab di antara agen itu ada juga yang tidak mempunyai pasar alias hanya menjual saja dan hanya menunggu. Lain halnya dengan Kedarton Agency sendiri, boleh dikatakan bahwa Jakarta ini sebenarnya sudah dipagar semua, artinya sub agen maupun pengecernya sudah hampir ada di seluruh sudut kota Jakarta.

Mengenai sub agen Kedarton Agency, sebelum ditempatkan, mereka lebih dulu dididik dan diarahkan oleh Harianja. Begitu ada lokasi yang tepat, mereka pun ditempatkan di sana. Jadi yang mencari dan membayar sewa tempat tersebut adalah Harianja sendiri namun walaupun begitu dia tidak menempatkan sub agen ini sebagai pekerja yang menerima gaji atau pun membuat sistem kerjasama bagi hasil.

Sub agen-sub agen ini murni bekerja untuk mereka sendiri dengan hasil yang dinikmatinya seratus persen. Hanya, sub-sub agen ini diwajibkan mengambil barang dari Kedarton Agency kecuali barangnya tidak ada. Dengan cara demikian pula maka kalau barang masih ada di Kedarton Agency mereka pun tidak bakal mau mengambil dari orang lain.

Di samping itu, inisiatif pendirian satu sub agen semuanya berawal dari inisiatif dan pertimbangan dari Harianja sendiri. Jadi tidak harus atas permintaan calon sub agen tersebut. Harianja menyediakan lokasi dan menyediakan barang tanpa uang muka. Dari sini dia hanya ambil persen saja sebagaimana dari orang lain juga. Dari situ sudah kelihatan bahwa dia memang jelas tidak mau memonopoli dengan sistem gaji atau sistem bagi hasil.

Bahkan tempat itu sendiri tidak diganti, mereka bisa pergunakan sepanjang masih berjualan majalah dan tabloid di situ. Dan yang lebih menyenangkan lagi buat sub agen ini adalah satu mobil boksnya ia berikan untuk mereka supaya cepat ambil barang. Ini semua dia lakukan hanyalah ingin berbuat yang terbaik pada mantan anak buahnya, mengingat bahwa selama beberapa tahun menjadi anak buahnya, dia merasa bahwa gaji yang dia berikan kepada mereka itu tidaklah seberapa..

Dengan perlakuan demikian, kini sub agennya sudah begitu banyak tersebar di sudut-sudut kota Jakarta dan sampai sekarang masih lancar-lancar saja. Strategi pemasaran ini terbutkti talah menjadi kekuatan dari Kedarton Agency ini. Melihat semua tindakan dari Harianja ini tidak salah kalau banyak yang mengakui bila berhubungan dengan pimpinan Kedarton Agency ini tidak ada yang tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan dengan cara yang terbaik.

Sementara mengingat begitu dekatnya hubungan kerja antara sirkulai dari pihak penerbit dengan pihak agen, juga telah secara tidak langsung menumbuhkan akrabnya hubungan kekeluargaan di antara mereka. Maka dua tahun belakangan ini dia pun mulai membentuk sebuah paguyuban yang disebutnya dengan PSDR. Hal ini dimaksudkannya agar sirkulasi dan agen itu janganlah hanya berhubungan soal tagihan dan retur.

Dengan paguyuban ini dia mengharapkan agar di luar tugas seorang sirkulasi terjalin lagi hubungan yang bisa bermanfaat sewaktu-waktu seandainya tidak bekerja lagi di perusahaannya. Umpamanya kalau seorang sirkulasi suatu penerbit yang karena sesuatu tidak bekerja lagi di perusahaannya akan tetap masuk hitungan keluarga PSDR. Jadi umpamanya begitu si sirkulasi itu keluar dari pekerjaannya jangan sampai ada masalah. Paguyuban harus ikut mencari jalan keluar masalahnya, misalnya mencari dimana kira-kira penerbit yang membutuhkan sirkulasi.

Di samping itu, sebenarnya dia juga bermaksud membuat suatu perkumpulan berbentuk koperasi. Bila nanti ada dana akan dibuat warung-warung seperti warung sembako misalnya, dengan tujuan agar siapa yang sudah tidak bekerja lagi di sirkulasi akan dikasih warung tersebut untuk dijaga. Dia juga merasa bahwa pihak penerbit pun tidak akan keberatan kalau misalnya kebutuhan-kebutuhan penerbit itu seperti gula, beras, kopi disuplai dari koperasi karena anak buah mereka juga ikut di sana.

PSDR ini dia bentuk di luar nama perusahaan. Jadi kalau sirkulasi suatu penerbit mau ikut, penerbitnya sendiri tidak ikut dibawa-bawa tapi hanya pribadi yang bersangkutan. Walaupun sepanjang ini belum semua sirkulasi penerbit itu ikut serta, tapi kemajuannya sudah terasa.

Dari pihak agen yang berperan dalam paguyuban ini bukanlah hanya Kedarton sendiri. Kini sudah delapan agen yang ikut serta dan yang lain tidaklah bersikap menolak. Mereka masih bersikap menunggu melihat apa yang terbaik dan cepat atau lambat mereka juga akan ikut. Pihak penerbit juga mendukung sekali dengan paguyuban ini terbukti bahwa mereka sudah pernah ikut membantu paguyuban dengan memberikan barang-barang untuk door prize dan lainnya dalam suatu pertemuan yang dilakukan paguyuban.

Mengenai keanggotaan paguyuban ini tidak dibatasi antara agen dan sirkulasi saja tapi karyawan peragenan juga diperkenankan. “Siapa yang mau. Jadi banyak juga yang mendukung, seperti karyawan kita juga mendukung,” kata Harianja.

Untuk seorang anggota sampai sekarang ini masih berlaku peraturan pada awal pembentukannya yaitu iuran Rp.100.000 sebulan. Iuran ini diperuntukkan untuk konsumsi Rp.25.000, arisan Rp.25.000, tabungan Rp.25.000, dan Rp.25.000 lagi untuk biaya tidak terduga seperti jika sewaktu-waktu ada yang sakit, kemalangan dan sebagainya.

Ditanya mengenai manfaat tabungan yang Rp.25.000, apakah berarti anggota bisa meminjam, Harianja mengatakan, bahwa paguyuban ini dibentuk adalah untuk anggota, tapi karena belum semuanya tertata rapi maka hal itu akan dipikirkan lebih lanjut. Dan mengenai arisan juga, diakuinya bahwa hal tersebut baru dua kali diadakan. Menurutnya, membuat satu paguyuban itu harus sabar dulu.

Paguyuban yang sudah beranggotakan sekitar 78 orang ini diakui Harianja memang masih belum sempurna. Untuk menyempurnakannya, dia berencana dalam waktu dekat akan mengumpulkan anggota untuk memperbaharui segala sesuatu kekurangan dari paguyuban, seperti melengkapi AD dan ART-nya.

Memang untuk mengumpulkan anggota itu sendiri pun diakuinya selalu mengalami kendala karena sulitnya menentukan hari pertemuan. Setiap merencanakan satu pertemuan, belum bisa ditetapkan satu hari dalam satu minggu sebab kadang satu penerbitan ada terbitannya atau agen sendiri yang sedang repot.

Walaupun paguyuban yang hingga kini masih kebanyakan beranggotakan sirkulasi penerbit ini sudah dua tahun didirikan, namun perkembangannya memang tidak begitu pesat. Hal ini bisa dimaklumi melihat masih belum lepasnya perekonomian bangsa ini dari pengaruh krisis.

Namun manfaatnya telah dirasakan oleh masing-masing anggota dimana semakin terjalinnya perasaan persaudaraan dan kekeluargaan di antara mereka. Hubungan mereka tidak lagi hanya terfokus pada urusan tagihan dan retur. “Di luar ini kita itu harus keluarga. Karena kita lihat krisis-krisis sekarang ini, kalau tidak didampingi secara kekeluargaan bisa tegang bahkan putus kita semua,” kata Harianja lebih tegas.

Mengenai persoalan paling memberatkan yang sering dihadapi pihak agen selama ini, menurut Harianja adalah sistem, dimana banyak penerbit yang tidak percaya bahwa apa yang mereka buat itu akan terjual, sehingga mereka melakukan sistem retur yang dibatas. Artinya, yang bisa kembali itu terbatas hanya sekian persen dan di luar itu resiko agen. Karena sistem ini, sekarang ini banyak agen yang terlibat utang.

Walaupun persoalan di atas sebenarnya bisa disiasati dengan membatasi atau mengurangi penerimaan tapi karena feeling agen yang kadang tidak selalu benar, hal itu tetap beresiko tinggi. Jadi walaupun menurut feeling agen, sesuatu media itu bagus atau edisi itu bagus tapi jika keadaan pada saat media itu keluar tidak mendukung seperti turunnya hujan, maka resiko harus ditanggung agen sendiri. Atau seperti pertengahan tahun 2004 ini dimana mulai dari kampanye, terus masuk sekolah, semuanya sering membuat hal yang di luar dugaan. Maka anjuran Harianja, penerbit itu sebenarnya harus melihat bagaimana pasar itu, bisa nggak diterima masyarakat produk mereka pada edisi-edisi tertentu.

Sementara menanggapi toleransi retur yang diberikan oleh pihak penerbit jika kelalaian itu justru dari pihak penerbit sendiri seperti keterlambatan dan lain-lainnya, Harianja menanggapinya merupakan hal yang wajar apalagi media sekarang ini mempunyai banyak saingan dari media yang sama jenis atau segmennya. Rata-rata lima media cetak yang sejenis atau satu segmen menurutnya mengharuskan penerbit itu pintar-pintar bikin isi medianya yang diterima oleh masyarakat. Sebab menurutnya, sekarang ini masyarakat kita itu sudah jenuh karena tidak ada yang tuntas. Menyelesaikan sesuatu itu terlalu lamban.

Memperhatikan begitu strategisnya posisi para agen ini bagi suatu media cetak, dimana boleh dikatakan merupakan tulang punggung dari penerbitan itu sendiri sudah seharusnya perasaan para agen ini menjadi perhatian bagi para penerbit, sebab jika satu penerbit tidak berkenan di hati mereka, boleh jadi sebenarnya para agen ini tidak mendukung penerbitan tersebut yang lambat laun akan mematikan media tersebut.

Walaupun mengakui hal itu bisa, tapi menurut Harianja, tidak pernah terlintas untuk mematikan produk seseorang itu dalam pemikiran mereka. Malah dalam pikirannya, kalau seseorang itu mempunyai produk berupa sebuah majalah atau tabloid berarti karyawannya sudah ada sekian banyak, jadi ikut mengembangkan usaha itu di samping dia sendiri dapat untung, dia juga merasa telah membantu sekian banyak orang itu dari ancaman pengangguran.

“... karena kita berpikir kalau ada produk dia itu berarti karyawannya ada sekian banyak, apalagi saat krisis sekarang ini kita itu tidak ada istilah cari gara-gara, nggak ada itu yang penting aman-aman saja. Semua seharusnya sama merasakan, si penerbit itu juga merasakan bagaimana agennya ini, si agen juga melihat bagaimana pengecer, itu saja,” katanya lebih lanjut.

Memang walaupun oplah penjualan itu disebut-sebutnya menurun, tapi di lain pihak dia juga mengakui adanya perubahan positif dibanding dulu. “Sebenarnya perubahan itu sekarang ini sudah banyak. Dulu pedagang koran itu hina, tahun 95 ke bawahlah.

Kalau umpamanya si A disebut tukang koran kedengaran saja sudah hina. Tapi begitu krisis terjadi dimana banyak PHK di sektor lain, tukang koran justru bangkit sebab lebih gampang untuk mencari kerja. Jadi kalau dulu, kehitung ini semua tukang koran, agen. Sekarang sudah kayak jamur,” ujarnya ingin memaknai krisis itu sendiri.

Ditanya mengenai kerjasama Kedarton Agency dengan David Agency pimpinan adik kandungnya sendiri yang bertetangga dekat dengannya di Stasiun KA Senen, dia mengatakan tidak ada sama sekali. Bahkan kesepakatan seperti agar satu orang saja yang menangani satu media tertentu, itu pun tidak mereka lakukan karena menurutnya jika media itu dibeda-bedakan tidak enak nantinya.

Diakuinya, bahwa sebenarnya dia kadang tidak mau lagi menerima, tapi dirinya jadi serba salah sebab nanti bisa dibilang sombong. Karena itu pulalah banyak penerbit itu melihat Harianja merupakan orang yang tidak banyak neko-neko, di samping merupakan orang yang dibutuhkan saran-sarannya yang sangat berharga.

Melihat kemampuan Harianja menganalisa pasar sebenarnya dia sudah bisa membuat konsultan media. Dengan demikian, dia mendapat upah jasa konsultan. Tapi menurutnya hal itu enggan dia lakukan. “… bagaimanalah orang ini teman semua.

Terkadang sakit hati juga melihat seorang penerbit. Kenapa saya sakit hati, karena mereka itu sewa konsultan. Kami sudah konsultasi dengan konsultan ini katanya, entah dibayar berapa, tau-tau pemasukan-pemasukan yang dikasih konsultan mereka itu tidak sejalan dengan yang di lapangan atau pasar. Jadi ide-ide mereka itu tidak tahu entah ide apa, karena mereka itu tidak punya pengalaman,” katanya menyesalkan.

“Kalau seseorang mau bikin majalah, itu kita pertanyakan. Pertanyaannya sama investor, berapa duit? Sanggup nggak Bapak? Kasihan Bapak nanti habis duit, tapi kalau Bapak sudah sanggup, sudah rela, oke. Begini, begini, begini, gitu. Makanya media itu selalu bertolak belakang antara manajemen dengan sirkulasi,” lanjutnya.

Walupun dia selalu berusaha memperlakukan sama semua media, namun ada satu penerbitan besar yang tidak ditanganinya. Tapi sub-sub agennya dibiarkannya bebas mengambil dari penerbitan tersebut. Menurutnya, ada kelemahan dari penerbitan tersebut yang tidak disukainya dimana penerbitan itu tidak membina agennya.

Dicontohkannya, jika ada umpamanya masalah di agennya, penerbitan ini tidak bisa menyelesaikannya dengan baik. Mereka langsung mengangkat agen lain. Jadi penerbitan ini tidak berusaha mencari jalan yang terbaik, mencari solusi yang baik agar agen yang pertama bisa hidup. Tindakan ini menurutnya akhirnya menimbulkan persaingan kurang sehat di lapangan.

Kemudian mereka juga membuat retur yang ketat. Menurutnya, adanya pembatasan ini merupakan kesalahan penerbit itu. Karena tidak percaya diri bahwa produknya akan terjual di pasar, mereka membuat suatu ancaman kepada agen padahal tindakan itu akan mencelakai produk mereka sendiri.

Dijelaskannya, karena penerbit membuat ancaman pada agen, maka agen pun membuat ancaman pada pengecer. Sebagai contoh dengan retur 20%. Anak-anak ini bawa 20 eksemplar misalnya tapi sisa lima. Dengan syarat return 20% tadi, pengecer ini sudah rugi. Kemudian edisi berikutnya dikurangi lima tetapi tokh juga ada sisa dari 20%.

Dengan demikian lama-lama pengecer itu akan membawa semakin sedikit sehingga bisa jadi 10 kemudian 5 dan seterusnya. Karena pengecer itu ingin mencari yang bisa menguntungkan, mereka akan mengambil media lain yang syaratnya lebih ringan atau kalau boleh media yang bebas retur.

Menurut Harianja, hal ini kadang tidak disadari oleh sebagian penerbit. Ini pulalah yang disebutnya bertolak belakangnya antara manajemen dengan sirkulasi. Yang kalau tidak seiring sejalan, menurutnya penerbitan itu akan mati. Dikatakannya, penerbit seperti itu selalu menghitung kerugian tidak menghitung pendapatan. Padahal seharusnya keluar dulu, baru dihitung berapa yang dapat dan berapa yang sisa. Begitulah menurutnya kalau bisnis.

Mencoba membandingkannya dengan penerbitan-penerbitan Jawa Timur, Harianja memuji kelihaian penerbit daerah itu dengan sistem yang mereka lakukan. Diambilnya sebuah sample seperti tabloid ‘Nyata’ terbitan TOP Group. Walaupun penerbit ini tetap membatasi retur 20% tapi mereka bisa menerima sampai beberapa edisi yang lewat, jadi sistemnya kumulatif. Dengan demikian menurutnya, oplah mereka yang sampai ke Jakarta sendiri sudah banyak. “Jadi itulah bisnis, bagaimana mensiasati peraturan produk lain,” katanya menjelaskan.

Kembali pada salah satu penerbitan Jakarta tadi, dia mengatakan bahwa mereka itu tidak menyadari telah diserang produk lain dengan berbagai cara. Itu disebabkan oleh peraturan mereka yang malah menyerang agennya sendiri.

“Jadi agen itu jangan ditekan terus. Si agen ‘kan tidak mau di tekan-tekan, selalu mengutamakan yang lebih longgar, mereka tidak mau mengambil resiko yang terlampau besar. Jadi sebenarnya penerbit itu memberi bebas tapi tetap diberi ukuran sesuai dengan kemampuan, sehingga anak-anak leluasa membawanya,” katanya memberi saran. “Jadi yang terjadi ini, belum apa-apa sudah ada ancaman, sehingga jadi beban,” katanya agak mengeluh.

===

 

Dia sosok penjual koran tanpa modal yang kini menjadi pemimpin Kedarton Agency yang merajai peragenan majalah di ibukota. Kedisiplinannya dalam menepati janji dan waktu, sabar, jujur dan menjaga kepercayaan selama kurang lebih 30 tahun telah berhasil melahirkan agency-agency muda yang belakangan bahkan lebih besar darinya. Pria berkacamata ini juga dikenal sangat jeli menganalisa pasar. Kejelian itu membuatnya sering diminta saran oleh penerbit, hingga menganggapnya sebagai ‘Konsultan Media’.

Menelusuri kehidupan laki-laki yang memulai langkahnya di Ibukota dengan hanya bermodalkan keuletan ini sungguh perlu disimak. Walaupun dia dilahirkan dari keluarga yang cukup terpandang di desanya, namun berjualan koran dilakukannya tanpa rasa malu dan rendah diri.

Walaupun segala kehinaan melekat pada predikat tukang koran, pekerjaan itu tetap ditekuninya hingga memiliki sebuah agen majalah terbesar di negara ini. Kini hampir separuh dari agen besar, agen menengah, dan pengecer yang ada di Jabotabek merupakan hasil bimbingan dan mantan karyawannya. Dia kini menjadi salah satu raja agency di negeri ini.

Pria kelahiran Pahae Jae-Sarulla, Tapanuli Utara, 2 April 1955, ini mulai mengenal bisnis media cetak sejak ikut menjajakan koran di Lapangan Banten. Setelah menamatkan SMP-nya di Pahae, desa kelahirannya, dia pun hijrah ke Jakarta untuk sekolah di STM Perkapalan Tanjung Priuk. Sebelum masuk sekolah siang, ia menyempatkan diri untuk menjual koran.

Demikianlah kesehariannya dilalui dengan kerja keras namun tetap senang hati dan ceria. “Kalau jualan koran dulu beda dengan sekarang. Kalau dulu kita harus teriak, harus ada nyanyian ‘Merdeka’, ‘Pos’ setiap saat. Kalau sekarang tanpa dinyanyikan pun sudah tau orang, sudah bisa dijual. Dulu enaknya di Lapangan Banteng itu saya rasa untuk sesuap nasi tidak sampai satu jam mencari,” katanya mengenang.

Setamat dari STM, seyogyanya dia melamar ke perusahaan pelayaran sesuai dengan ijazah yang diterimanya. Namun kejadian kebakaran kapal Pertamina tahun itu membuat dirinya takut untuk berlayar. Dia pun kemudian memutuskan untuk makin serius menekuni jualan koran dan majalah tadi.

Sesudah beberapa lama, penerbit majalah Info Bank pun mulai mempercayainya dengan menitipkan medianya. Itulah media pertama sekali yang mempercayainya menjadi agen yang diikuti kemudian oleh berbagai penerbit lain. Mereka mempercayainya walau hanya dengan modal alamat jelas, ketepatan janji, serta kejujuran.

Putra kedua dari delapan bersaudara dari ayah bernama Purba Harianja dan ibu Boru Pakpahan (alm), ini memang sedikit banyak mempunyai bekal bakat berdagang dari ayahnya yang memang seorang toke - pengusaha kemenyan. Kemenyan yang banyak digunakan untuk bahan kosmetik maupun untuk dupa dan merupakan hasil perkebunan ciri khas Tapanuli Utara tersebut dibeli dari para petani selanjutnya dijual kepada toke yang lebih besar, begitulah pekerjaan ayahnya ketika Harianja masih kecil. Usaha sang ayah tersebut termasuk cukup besar untuk ukuran masa itu dimana telah memiliki dua mobil untuk operasional usahanya.

Kehidupan keluarga Harianja yang bergelombang juga berperan dalam pembentukan pribadinya menjadi seorang pekerja yang ulet. Disebutkan bergelombang karena ketika dia menginjak pendidikan SMP, usaha ayahnya pun bangkrut yang membuat keluarganya kemudian menjalani kehidupan sebagai petani dengan berkebun, kebun yang hingga kini masih tetap dipelihara dengan tanaman kayu jati.

Setelah beberapa lama menjalani kehidupan sebagai penjual koran dengan segala keluh kesahnya, dia pun memutuskan untuk pulang kampung untuk melepas rindu. Dengan pertimbangan agar ada seseorang yang benar-benar memperhatikan dan merawat dirinya, dia pun memutuskan untuk menikah.

Maka ketika usianya menginjak 20 tahun itu, tepatnya pada tahun 1975 bulan Agustus, dia pun resmi memulai kehidupan yang baru dengan keluarga baru. Berlian Siregar gadis sekampungnya yang telah dicintainya begitu lama itu akhirnya menjadi tambatan hatinya. “Tidak berapa lama sesudah selesai STM, saya pulang kampung. Istilahnya pulang kampung itu karena saya itu sudah merasa bandel di Jakarta, takut sesuatu. Pulang kampung sebenarnya karena kita itu buru-buru punya istri untuk menjaga kesehatan kita,” katanya mengisahkan.

Begitu selesai melangsungkan acara pernikahan, keluarga baru ini pun berangkat lagi ke Jakarta untuk seterusnya melanjutkan usaha jual koran. Dengan modal alamat jelas, kepercayaan dan kejujuran di samping memang adanya kemudahan dari pihak penerbit dimana bayarannya bisa belakangan maka dia pun mulai membuka keagenan dengan nama Harianja Agency.

Dua tahun setelah perkawinannya, keluarga baru ini pun dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Kedarton. ‘Kedar’ merupakan nama pemberian nenek si bayi, kemudian ditambahkan sang ayah dengan nama ‘Ton’ di belakangnya. Nama Ton diambilnya dari nama Ken Norton, petinju kelas berat yang sedang bertanding dengan Muhammad Ali ketika itu. Nama anak pertama inilah yang mengilhami penggantian nama agencynya dari Harianja Agency menjadi Kedarton Agency.

Dalam sejarah perjalanan agencynya, dia tercatat telah banyak melahirkan agency baru yang dikelola mantan karyawannya yang notabene juga masih keluarganya. Dia memang seorang pengusaha yang selalu memikirkan karyawan. Apabila ada lokasi berjualan majalah dan tabloid yang bagus, dia akan mengambilnya dan menempatkan salah satu pekerjanya untuk mengelola sub agen baru di situ.

Segala jenis media yang ada padanya diberikan juga pada sub agen dimaksud sedangkan dia sendiri hanya mengambil persen saja. “Saya tidak mau memonopoli dengan sistem gaji atau sistem bagi hasil misalnya. Tempat itu sendiri tidak diganti ke saya, mereka bisa pakai sepanjang masih berjualan di situ. Bahkan saya berikan mobil boks satu. Soalnya saya merasakan, bahwa selama menjadi anak buah saya lima tahun, gaji mereka itu tidak seberapa saya kasih. Jadi mobil-mobil kita yang sudah agak lama diberikan sama dia itu supaya cepat dia ambil barang,” katanya mengenai hal tersebut.

Dari keluarga kandungnya sendiri terhitung sudah lima orang yang benar-benar terjun menekuni media cetak ini menjadi agency baru yang benar-benar terpisah darinya bahkan ada yang menjadi penerbit. Dan mantan anak buahnya yang sudah lama bekerja untuknya, pada umumnya dia angkat jadi sub agen.

Tingginya sifat kekeluargaan dalam diri Harianja juga telah menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan usahanya. Mantan karyawannya yang menjadi sub-sub agen tersebut diperlakukannya sebagai keluarga dan memang sudah dianggapnya keluarga. Tidak hanya mereka itu, bahkan sub-sub agen yang lain yang cuma tetangga pun, tidak diperlakukannnya sebagai teman bisnis saja tapi hubungan keluarga dulu baru bisnis. Dengan demikian, hampir tidak ada karyawan dan anak buahnya yang mencoba merongrong usahanya, sebaliknya semuanya saling mendukung.

Di antara mereka delapan bersaudara, empat di antaranya terjun di bidang media cetak. Di samping dia sendiri, adiknya yang nomor tiga, Idris Harianja juga bergerak dalam jual buku cetakan sebagai pemilik T.B. Zico di Senen. Kemudian adiknya nomor empat, Heldert Harianja membuka agency di Kebayoran dengan nama Milu Agency. Dan adiknya nomor enam, Junus Harianja juga membuka David Agency yang bertempat persis di sampingnya di Stasiun Senen.

Sementara keponakannya, anak dari kakaknya yang bernama Rudi Manalu juga menggeluti bidang media cetak ini dengan menjadi seorang penerbit. Bahkan sebagian di antaranya menurutnya malah sudah lebih besar dari agencynya. “Sekarang anak buah saya, seperti adik saya yang di Kebayoranlah sudah lebih maju dari saya, cuma mereka selalu hormat,” katanya.

Mengenai masa depan anak-anaknya, ayah dari Kedarton, Marlyn, Lady Diana, dan Anugerah, ini mengatakan bahwa sejak awal ia sudah mengarahkan dan menerjunkan anak-anaknya ke bidang bisnis keagenan. Ini dia lakukan dengan maksud agar bisa melanjutkan bisnisnya dengan lebih baik lagi.

Dan kini anak pertama dan keduanya yakni Kedarton dan Marlyn telah terjun ke dunia pemasaran media cetak. Kedarton mengelola agen di Terminal Senen sedangkan Marlyn mengelola salah satu agen di Stasiun KA Senen.

Berbicara mengenai bisnis pemasaran media cetak ini, dia mengingatkan bahwa mencoba terjun ke bisnis ini haruslah memilih atau memiliki istri yang sabar mengingat waktu dan perhatian suami yang terkuras habis pada pekerjaannya. “Kalau jadi istri agen itu harus jadi orang sabar karena suami itu sepertinya mengutamakan keagenan. Waktu suami itu kebanyakan mengurus media daripada melihat istrinya di rumah,” katanya.

Memperhatikan sisi kehidupan keagenan selama ini boleh disimpulkan bahwa bidang ini merupakan bidang yang paling sosial. Disebutkan demikian, memperhatikan kejadian yang sering terjadi selama ini dimana banyak orang datang dari kampung telah tertolong bahkan bisa berhasil di ibukota ini. Susahnya cari pekerjaan dan keengganan berlama-lama di rumah keluarga kadang memaksa mereka berjualan koran dulu dengan modal kepercayaan dari agen atau sub agen. Dari sana mereka bisa mencari pekerjaan lain atau menggeluti berjualan koran lebih serius lagi hingga banyak yang berhasil.

Karenanya, Harianja mengakui bahwa penerbitan-penerbitan yang telah memberikan sistem pembayaran di belakang selama ini sangat baik dan banyak membantu. Dan diakuinya juga bahwa kadang malah justru si agenlah yang salah karena sudah dikasih kepercayaan tapi masih bikin ulah yang sebenarnya malah merugikan diri si agen itu sendiri. Mengenai hal itu dia menduga bahwa mungkin si agen itu memang tidak bisa mengelola duit. Duit yang dilihat banyak itu mungkin dianggap duit sendiri sehingga akhirnya pengelolaannya jadi salah.

Lain dengan Kedarton Agency, dengan pengelolaan yang baik kini agen ini telah memiliki anak buah tidak kurang dari 14 orang yang sebagian adalah keluarga. Ini belum termasuk bila sub-sub agen tadi dihitung menjadi anak buahnya. Di Jakarta ini mungkin sudah hampir 60% agen dan sub agen termasuk dalam jaringannya. Keberhasilan ini diperolehnya karena selalu menanamkan prinsip yang terbaik bagi mitra dan anak buahnya.

Pada semua anak buahnya dia selalu menganjurkan agar kalau bisa jangan hanya pengecer tapi harus bisa jadi sub agen. Dan apabila anak buahnya sudah jadi sub agen dia juga menyerahkan pada mereka untuk mengisi pelanggan. Hal ini semua dia lakukan tidaklah hanya karena bisnis atau mengharapkan imbalan namun yang utama adalah menolong. “Tapi mereka itu tidak ada ikatan apa-apa sama saya, mereka bebas. Hanya supaya mereka itu maju, begitu,” katanya mempertegas.

Pengusaha yang total dan fokus di bisnis di media cetak ini, sepanjang pengalamannya juga telah banyak mengalami berbagai gelombang sejak memulai usaha keagenan ini. Tahun 1996 ke bawah merupakan tahun-tahun keemasan bisnisnya, namun jaman itu kemudian dihancurkan krisis di tahun 1997. Sejak itu bisnisnya telah megalami penurunan sama seperti yang dialami oleh hampir semua pengusaha di bidang yang sama.

Namun walaupun begitu dia masih merasa optimis bahwa pada saat yang akan datang, akan ada lagi saat yang lebih bagus. “…saya yakin pada saat yang akan datang akan ada lagi saat yang lebih bagus. Misalnya kalau kepemimpinan negara kita ini sudah ada yang tetap, ekonomi kita akan bangkit lagi,” ucapnya optimis.

Pada tahun keemasan media cetak tersebut, dia juga pernah memperluas jaringan bisnisnya pada bidang penerbitan. Namun setelah krisis moneter dia meninggalkan penerbitan bahkan hampir membuatnya meninggalkan bisnis agency dan beralih ke usaha lain. Hanya dorongan dari para penerbit sajalah yang membuatnya kembali bersemangat menekuninya. "Ada faktor kejenuhan. Perasaan saya itu jenuh pada masa krisis tahun kedua, kira-kira tahun 1998. Tapi pihak penerbit, terutama Femina Group, melarang saya menyerah,” katanya mengenang.

“Pikiran saya pulang kampung, membuka kebun. Kalau di media ini waktu dan otak yang dimakan, jadi bukan tenaga. Kalau umpamanya di kampung, tenaga masih bisa sedangkan otak tidak begitu kerja keras,” lanjutnya mengenang rencananya ketika hendak meninggalkan bisnis agency.

Karenanya, sekedar menjelaskan tentang permasalahan yang sering dihadapinya sekaligus menjelaskan agar tidak terjadi kesalahpahaman antara agen dan sirkulasi, dengan terus terang dituturkannya tentang kelemahan dari pihak penerbit menghadapi para agen sesuai dengan pengalamannya selama ini.

Agen di Jakarta yang pada umumnya tidak punya tempat yang bagus, bahkan semuanya di kaki lima, tidak ada AC dan lainnya sehingga sangat memprihatinkan, namun menurutnya terkadang tanpa melihat waktu masih dikunjungi sirkulasi pihak penerbit. Situasi yang gerah dan pikiran yang penat kadang membuat agen kesal dan tanpa disadari sirkulasipun terkadang ikut mendapat caci maki.

Ditambahkannya, kalau sirkulasi itu sudah punya banyak pengalaman, biasanya melihat dulu dari jauh, jika agennya tidak kusut dan sudah senyum, baru dia dekati. Jadi menurutnya, begitulah sebaiknya para sirkulasi tersebut sebab yang dihadapi agen itu bukan hanya satu dua.

Siapkan Generasi Kedua
Apa yang diutarakan Harianja ini pada umumnya dibenarkan juga oleh Kedarton, anak tertuanya yang diwawancarai Tokoh Indonesia pada waktu dan tempat yang sama. Kedarton lulusan Fakultas Ekonomi Jurusan Studi Pembangunan Universitas Trisakti dua tahun lalu ini mengatakan dengan sengaja memilih Fakultas Ekonomi karena sejak kecil sudah memiliki bakat berjualan. Jadi menurutnya bakat jualan itu akan lebih klop jika dia teruskan ke fakultas ekonomi.

Sejak kecil Kedarton memang sudah kelihatan berminat pada bidang pemasaran atau berjualan. Pada bulan puasa ketika masih Sekolah Pendidikan Menengah, Kedarton sudah sewa-menyewakan komik dan jual TTS di depan rumahnya. Lama-kelaman dia pun menyadari bahwa jiwanya memang jiwa pedagang, sedangkan kerja di kantor dia tidak punya minat sama sekali walaupun pakai dasi dan jas dia akui pengen juga sekali-sekali. “Jadi saya merasa bahwa jiwa saya memang jiwa pedagang dan kerja di kantor tidak ada minat sama sekali. Pakai jas dan pakai dasi memang pengen juga, tapi kalau melihat tempat saya ini tidak pantas banget, terlampau mencolok,” kata Kedarton.

Kedarton ini memang seorang yang berbakat dan ulet. Dua tahun terlibat langsung dalam bisnis ini telah membuatnya mengetahui hampir semua seluk beluk bisnis media ini, mencakup teknis-teknis dasarnya seperti menerima barang, retur, peredarannya dan lainnya. Walaupun begitu dengan merendah dia mengakui bahwa masih banyak ilmu-ilmu pola pikir cara menanggulangi sesuatu itu yang masih belum dia kuasai.

Ketika ditanya pemikiran baru apa yang bisa dikembangkan dalam menjalankan bisnis ini ke masa depan, dia malah mengatakan bahwa sebenarnya ilmu yang diperolehnya di perkuliahan itu tidak bisa serta merta dipraktekkannya dalam usaha ini tapi hanya dasar-dasarnya saja. Namun walaupun begitu Kedarton mengakui telah mulai melakukan pengembangan bisnis dengan menelusuri pemasaran ke mall-mall. ►ti/atur- marjuka situmorang

Search site