MAKNA SUKSES BAGI BOB SADINO
16/09/2009 07:56
Sukses bagi seorang entrepreneur sejati seperti Bob Sadino, ternyata
begitu
sederhana. "Kalau saya mengharapkan besok saya bisa makan, dan besok
saya dapat makan, saya sudah sukses," ungkap bos Kemchicks Group ini.
Ia bilang, banyak orang tidak pernah memahami arti sepiring nasi. Makan
dianggap sebagai kewajaran jika orang tidak punya masalah untuk
mendapatkan makanan. Tapi bagi orang yang pernah lapar, pernah tidak
makan, sepiring nasi mempunyai arti yang sangat besar dan sangat
mendalam. "Mungkin titik berangkat saya itu yang membuat saya bisa
begini hari ini," tutur Bob, yang pernah jadi sopir taksi dan nguli di
Jakarta
dengan upah Rp100 per hari.
Bob, yang lulus SMA tahun 1953 itu mengkritik keras kecenderungan para
orang tua yang malas mendidik sendiri anak-anaknya. Para orang tua itu
melepaskan tanggungjawab mendidik anak dan seenaknya membebankan
tugas itu pada sekolah. Akhirnya, sering mereka memaksakan kehendak
pada anak-anak dalam hal memilih jenis pendidikan. Padahal, kata
pengusaha gaek yang pernah ikut-ikutan temannya kuliah di Fakultas
Hukum UI ini, semua anak bebas menentukan pilihan. Namun itulah
egoisnya orang tua. Tanpa sadar mereka sedang memperkosa pikiran
anak-anak.
Bagi Bob, keteladanan sangat bermakna untuk membangun mental
seseorang. "Bukan dengan memicu dan memacu, karena banyak orang
yang tidak mau dipicu dan dipacu," tegas Bob. Ia mengaku sangat keras
dalam mendidik anak-anaknya, tetapi juga memberi pilihan
sebebas-bebasnya. Disiplin harus ditegakkan, tapi kemandirian juga harus
ditumbuhkan. Itulah semangat Bob dalam menggerakkan para karyawan di
Kemchicks Group, yang mana mereka dianggapnya sebagai anak-anak
sendiri.
Teramat sayang jika orang hanya mengingat seorang Bob Sadino sebagai
pengusaha nyentrik, yang kemana-mana pakai celana pendek. Makin digali,
makin ketemulah sosoknya sebagai seorang Master Kehidupan. Bahasanya
bernuansa sufistik. Ungkapan-ungkapan yang sederhana, lugas, dan kadang
provokatif namun kaya makna itu, menjadikannya bak seorang "Guru Zen"
dalam hal bisnis. "Saya ini seperti sebuah gitar tua di atas meja. Apakah
saya bisa mengalunkan irama yang indah atau buruk, tergantung siapa yang
memetiknya," ungkap Bob saat didesak untuk mengeluarkan seluruh
`ilmunya' oleh Edy Zaqeus.
Kalau pikiran ini kita umpamakan sebuah cangkir teh, maka kita tak
bakalan pernah bisa mengenal "tehnya" Bob Sadino, jika kita tak lebih
dulu
mengosongkan cangkir itu. Berikut petikan wawancara antara Bob Sadino,
sang "Guru Zen" bisnis, dengan salah satu pengagumnya, Edy Zaqeus.
Wawancara berlangsung sepanjang perjalanan dari rumah Bob di Lebak
Bulus, Jakarta Selatan, sampai di kantornya di kawasan industri Pulo
Gadung, Jakarta Timur. Wawancara ini merupakan salah satu bab dari
buku best seller berjudul Kalau Mau Kaya Ngapain Sekolah! (Gradien,
2004)
MODAL SERING MENJADI HAMBATAN BAGI YANG INGIN
BERWIRAUSAHA. PANDANGAN ANDA?
Rata-rata kalau orang bicara modal, langsung otaknya bilang duit. Orang
yang lebih canggih lagi, kalau bukan duit ya benda-benda modal seperti
pacul, pikulan, atau becak. Itu modal yang bisa dilihat, dipegang,
dirasakan,
modal tangible. Ada modal yang tidak bisa dilihat, dirasakan, dipegang.
Umpamanya modal keberanian, kemauan, tekad. Saya pribadi, dari mana
mulainya? Ya, dari yang tidak kelihatan tadi.
SOAL KETIDAKBERANIAN MENGAMBIL RISIKO, JIKA
BERDASARKAN PERHITUNGAN RISIKONYA TERLALU BESAR.
KOMENTAR ANDA?
Karena saya berangkat tanpa perhitungan apa-apa, bagaimana saya mau
mengitung kalau duit saya tidak punya? Modal saya hanya kemauan, tapi
saya punya kaki punya tangan, terus saya melangkah, saya berbuat!
APA CUKUP MENGANDALKAN KEBERANIAN AMBIL RISIKO
SAJA?
Salah satunya iya. Kalau orang biasanya menghindari risiko, saya masuk
kategori orang yang mencari risiko, kan? Masa bodoh akibatnya, yang saya
cari itu risiko. Silahkan terjemahkan
.
PERNAH MENGALAMI KEGAGALAN DALAM USAHA?
Ini pertanyaan yang sangat lucu
Kegagalan itu sudah termasuk dalam
usaha. Cari risiko berarti cari kegagalan, kan? Berusaha itu modalnya
bukan duit. Duit itu nomor ke seratus kali!
SOAL MENTAL KEWIRAUSAHAAN MASYARAKAT KITA?
Rata-rata orang Indonesia masih berpikir untuk jadi pegawai saja.
Termasuk mereka yang sudah selesai sekolah, sarjana-sarjana itu.
Kebanyakan orang tidak mau dipicu dan dipacu mental kewirausahaannya.
Karena tidak mau, ya pendekatannya harus beda. Ya, keteladanan saja.
Kalau orang melihat Anda berhasil, Anda hanya bisa berharap orang lain
mengikuti Anda. Itu saja!
BUKANKAH ITU PASIF?
Memangnya kita bisa maksa orang? Kamu mau nggak dipaksa? "Kamu
besok berhenti saja jadi wartawan, kamu ikuti jejak saya, mau nggak
kamu?!"
KONON DALAM USAHA PERLU `NALURI BISNIS' (INSTINCT)
ATAU FEELING. ANDA SENDIRI?
Dari pengalaman, saya tidak mengatakan bahwa instinct atau feeling itu
faktor. Mungkin ada, Mungkin! Tapi itu kan sesuatu yang tidak ada
jaminannya? Yang orang katakan feeling bagi saya, sebenarnya adalah
karena saya sudah melangkah 999 langkah. Maka langkah saya yang
ke-1000 itu, yang sebetulnya langkah berikutnya, itulah yang dikatakan
orang instinct atau feeling.
KALAU SOAL `HOKI' ATAU KEBERUNTUNGAN?
Berapa persen sih orang yang bisa menyandarkan dan mengandalkan
sebuah sukses dari faktor hoki? Kenapa nggak dilaksanakan saja,
dijalankan saja? Mungkin hoki datang sejajar dengan itu, dengan
sendirinya.
Kalau orang sejak awal percaya dirinya tidak bisa berhasil, maka seumur
hidupnya, sepanjang hayatnya, dia tidak akan pernah berhasil.
BAGAIMANA DENGAN LEADERSHIP DALAM MENGHIDUPKAN
USAHA?
Kalau ditanya definisinya saya nggak bisa jawab. Kalau ditanya hasilnya,
saya punya 1.600 orang anak-anak. Mereka itu anak-anak, saya bapaknya,
itu saja! Nggak pakai resep. Mereka itu mbututi (mengikuti) saya kok.
Jika
kamu belum menikah, belum punya istri, belum punya anak, maka apa pun
yang saya terangkan tentang `bapak', kamu tidak akan mengerti. Itu pun
sudah merupakan jawaban!
KALAU ANAK-ANAK TIDAK MAMPU MELAKSANAKAN APA
YANG ANDA INGINKAN?
Dibentur-benturkan aja kepalanya ke tembok! Apakah saya bisa andalkan
anak saya dari pengetahuannya saja? Pengalaman. Anak pegang sepeda,
kalau jatuh itu risiko saya. Si anak merasakan sakit. Tapi sebagai
seorang
bapak, kalau anak luka, yang ngobatin luka itu siapa? Risiko si anak
sakit,
luka, berdarah, teriak-teriak. Karena itu dirasakan anak saya, saya ikut
merasakan. Saya sebagai bapak harus bertanggung jawab. Saya
melaksanakan tugas saya sebagai bapak, sama dengan semua bapak di
mana pun bapak-bapak berada. Tidak ada bedanya.
Usaha sudah besar, urusan makin banyak, sistem makin rumit. Bagaimana
mempertahankan semua ini?
Saya kan sama anak-anak, tidak sendirian? Harus dilihat saya bersama
anak-anak itu sebagai sebuah kebersamaan. Sudah lama saya tidak
mengambil keputusan. Anak-anak saya suruh belajar naik sepeda.
Terserah mau ke mana dan bagaimana mereka naik sepeda. Kalau saya
mengawasi terus, kapan dewasanya anak-anak?
TIDAK SELAMANYA ORANG BISA LURUS TERUS. KADANG
MEYIMPANG, KADANG MELAKUKAN KESALAHAN?
Saya buka dan bebaskan. Kalau mau melakukan penyimpangan, melakukan
kesalahan, silahkan! Bebas kok. Terserah. Seperti anak saya yang naik
sepeda, kalau dia jatuh, dia sakit sendiri.
KESALAHAN YANG DISENGAJA MAUPUN YANG TIDAK?
Dua-duanya boleh. Merdeka kok!
KEDENGARANNYA KOK TIDAK ADA MEKANISME REWARD
AND PUNISHMENT?
Punishment-nya itu bukan dari saya. Reward-nya juga bukan dari saya.
Punishment juga karena kelakuan dia sendiri. Memangnya tugas bapak itu
harus punish and reward? Memangnya polisi? Saya paling menghindari
perkataan punishment.
LEBIH UTAMA PENGALAMAN ATAU SESUATU YANG
DIDAPAT DARI BANGKU SEKOLAH?
Saya tidak bisa ngomong karena saya nggak sekolah. Menurut istilah
Andrias (penulis buku-buku best seller: red), saya ini orang yang
belajar,
tetapi orang yang tidak pernah sekolah.
SIAPA GURU-GURU TERBAIK ANDA?
Alam. Saya melihat anak-anak, saya lihat pohon, matahari, jalanan, batu,
sekeliling saya aja. Apa orang itu ndak bisa belajar dari batu? Banyak
orang tua yang tidak rela anaknya tidak sekolah.
MUNGKIN ADA KEKHAWATIRAN KALAU TIDAK SEKOLAH
NANTI TIDAK BISA HIDUP?
Apakah mereka tahu dengan sekolah itu anaknya bisa hidup? Apakah
nggak sebaliknya, malah karena sekolah dia nggak akan bisa hidup? Kalau
saya jadi kamu, segera setelah jadi orang tua, yang saya ingat adalah
obrolan saya dengan Bob Sadino. Apakah sekolah itu jaminan bahwa anak
itu nanti akan berhasil? Saya hampir pasti kalau kamu jadi orang tua,
kamu
akan paksa anakmu untuk sekolah. Kalau kamu orang tua yang percaya,
bahwa dengan sekolah anak itu bisa sukses, saya cenderung
mengkategorikan kamu sebagai orang tua yang tidak bener. Pertama, kamu
malas tidak mau mendidik anak sendiri. Kedua, kamu mengandalkan orang
lain. Kalau kamu menghendaki anakmu melakukan setiap yang kamu
inginkan, kamu orang tua yang paling egois. Bukankah setiap anak itu
bebas memilih apa pun yang dia inginkan? Tanpa sadar kamu sedang
memperkosa pikiran anakmu. Itu menurut Bob Sadino!
ADA PEMIKIRAN, PENDIDIKAN ADALAH WARISAN TERBAIK
BAGI ANAK?
Kalau semua orang bilang begitu, saya yang akan bilang tidak! Kamu
belum menarik garis sekolah itu apa, belajar itu apa. Alangkah
prihatinnya
saya. Kasihan sekali pada orang tua yang mendidik anaknya, dengan
menyuruh si anak masuk di sebuah ruangan yang dibatasi oleh empat
dinding. Bukankah dunia ini lebar? Warisan disempitkan menjadi satu;
sekolah. Yang lain-lain nggak dianggap warisan, alangkah sempitnya
pemikiran itu. Anak-anak saya ya saya sekolahkan. Tapi setelah itu saya
bebaskan, mau apa terserah. Tidak pernah saya paksakan. Dan walau
anak-anak saya selesai sekolah, ternyata mereka juga ndak senang
sekolah.
APAKAH IDE-IDE SEMACAM INI BAGUS UNTUK
ORANG-ORANG DI BANGKU SEKOLAH?
Saya selalu mengatakan, bagi mereka yang memaksakan kepingin sukses,
jawaban saya sangat sederhana dan sangat tidak populer. Kalau kamu mau
sukses, besok kamu berhenti sekolah. Dan jelas tidak ada satu orang pun
yang mau nurut kata-kata saya. Padahal dia sedang mencari dan mengejar
sukses.
Mungkin orang merasa tidak aman jika meninggalkan sekolah dan tidak
punya ijazah?
Kamu tahu berapa ribu sarjana yang nganggur. Apakah itu aman buat
mereka? Kemarin saya ke IPB sedang mewisuda 1.200 sarjana. Dari
1.200 sarjana yang kemarin diwisuda itu, berapa yang dapat pekerjaan,
saya tidak tahu. Yang saya tahu hanya beberapa gelintir saja. Artinya
kamu menyekolahkan anak untuk mencapai suatu tujuan, yaitu masuk pada
suatu tempat yang tidak aman. Itu jelas sebetulnya. Tapi mengapa
paradigmanya tidak pernah mau digeser-geser? Karena itu budaya dari
nenek moyang. Orang tua maunya gampang. Sebetulnya sekolah itu hanya
wakil saja dari orang tua. Kalau orang tua yang prihatin, ya dia didik
sendiri
anaknya.
WAKTU KECIL PERNAH PUNYA CITA-CITA?
Nggak punya cita-cita. Kamu bertanya, `benar nggak?' berarti kamu tidak
percaya sama saya, kan? Karena aneh, kan? Orang selalu tidak percaya
jika saya ngomong yang sejujur-jujurnya.
BAGI ANDA APA MAKNA SUKSES ITU?
Bilamana apa yang saya harapkan, itu yang saya dapatkan, itulah sukses.
Jadi kalau saya mengharapkan besok saya bisa makan, dan besok saya
dapat makan, saya sudah sukses. Buat saya nasi sepiring itu sudah baik.
Orang mencari macam-macam itu kan karena tidak pernah menghargai
nasi sepiring buat dimakan besok? Saya menghargai itu karena saya pernah
lapar. Nasi sepiring itu punya arti besar, segunung sudah. Sesederhana
itu!
Nasi doang itu bagi saya sudah lebih baik daripada saya tidak makan.
Mungkin titik berangkat saya itu yang membuat saya bisa begini hari ini.
Orang yang tidak bisa menghargai sepiring nasi doang, karena mereka
belum pernah lapar, kan? Mungkin perbedaan yang paling mencolok antara
saya dengan begitu banyak orang adalah itu. Makan dianggap taken for
granted, kewajaran, karena orang itu tidak punya masalah dengan makan.
Tapi orang-orang di pinggir jalan itu, kamu tanya mereka
.
ADA SAAT-SAAT KHUSUS UNTUK MEDITASI ATAU REFLEKSI
DIRI?
Walah
dengan saya bersosialisasi dan berkomunikasi dengan anak-anak,
itu sebuah refleksi spontan, kan? Apakah itu sikap saya, tindakan
saya, atau
pembicaraan saya, saya mendapatkan refleksinya. Jadi saya tidak perlu
lagi
merenung. Saya bicara dengan Anda, saya mendapatkan refleksi dari
Anda. Refleksinya
oh, segala pertanyaan yang saya jawab anak ini
ternyata bingung sendiri ha..ha..ha..
SETELAH SEPERTI SEKARANG INI, KE DEPAN APALAGI YANG
ANDA HARAPKAN?
Dari awal saya bilang, besok itu saya mengharapkan bisa makan. Dan
keesokan harinya saya bisa makan, dan saya puas. Apalagi yang saya
harapkan? Karena itu makna sukses, kan? Sudah cukup. Nah, pulang nanti
kamu dipaksa merenung! Bisa nggak menerjemahkan sang sufi ini
ha..ha..ha
Kamu mengukur saya itu sekarang, kamu melihat saya serba
ada. Kamu lupa sepiring nasi buat saya itu ada, itulah titik ada pada
waktu
saya punya sepiring nasi besok. Itu titik ada saya. Kalau saya melihat
titik
pada waktu besok saya mau makan saya dapat nasi, itu sudah titik bagi
saya.*
———
Back